Cultural Imperalism: Hallyu adalah suatu Contoh Teori Imperalisme Budaya di Indonesia

Artikel ini merupakan buah gagasan Andika Sanjaya ketika dalam penyelesaian studi sarjana di Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas  Maret.  Artikel ini ditulis pada 1 Juni 2010 untuk menjawab pertanyaan jelaskan secara luas ungkapan “Cultural Imperialism” dengan contoh kasus kongkrit yang terjadi di Indonesia. Pertanyaan ini muncul dalam mata kuliah "Komunikasi Antar Budaya" yang diampu oleh Prof. Dr. Andrik Purwasito, DEA, seorang guru besar dalam bidang Ilmu Komunikasi Lintas Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS).


Cultural Imperialism


Beberapa pendapat menganggap Imperialisme Budaya hampir mirip dengan Imperialisme Media. Namun, masih terdapat perdebatan di kalangan Neo-Marxist dan Non-Marxist dalam memandang Imperialisme Budaya. Kalangan Neo-Marxist lebih memilih istilah Imperialisme Budaya atau Imperialisme saja, namun kalangan Non-Marxist lebih memilih Imperialisme Media. 

Boyd Barret lantas memberi analisis bahwa Imperialisme Budaya, Imperialisme Media, dan Imperialisme adalah berbeda dan tidak dapat dicampur adukkan. Itulah perdebatan yang berasal dari pihak-pihak yang berbeda secara mendasar terhadap satu definisi. 

Imperialisme Budaya (Cultural Imperialism) adalah konsep yang dikembangkan oleh para akademisi asal Amerika Serikat, terutama Herbert Schiller. Imperialisme Budaya pada hakekatnya adalah pengagungan dan penyebaran nilai dan kebiasaan. Kekuatan ekonomi mengambil peranan penting dalam proses penjajahan ini.  Pada Imperialisme Budaya terjadi penularan budaya maupun visi misi suatu bangsa kepada bangsa lain dan biasanya melalui media massa. 

Ketika sebuah negara memiliki budaya yang kuat, dijunjung tinggi, dan dikemas menarik melalui media, maka budaya tersebut bisa juga diagung-agungkan di negara lain. Bahayanya, dengan berubahnya struktur kebudayaan suatu bangsa, maka jiwa bangsa tersebut juga ikut berubah. Imperialisme Budaya mungkin lebih perlahan dibanding jenis imperialisme lain, namun jenis imperialisme ini sulit dideteksi dan sulit untuk diatasi. Ada empat jalan untuk melanjutkan pembicaraan tentang Imperialisme Budaya, antara lain:

Imperialisme Budaya sebagai Imperialisme Media

Lupakan sejenak pendapat kalangan Neo-Marxist tentang Imperialisme Media. Imperialisme Budaya tidak dapat dilepaskan dari media massa. Media massa dewasa ini sudah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Media cetak, radio, televisi, hingga internet lebih mudah diakses oleh kebanyakan masyarakat. Film dan iklan merupakan contoh kecil dari produk media massa yang dapat diimpor dari luar beserta pengaruh budaya asingnya.

Neil Postman, penulis dan pengamat media Amerika, berpendapat bahwa dengan berkembang pesatnya media massa dan industri tontonan dewasa ini dunia anak terancam musnah. Ketika rahasia-rahasia yang dilarang diketahui anak-anak diumbar di hampir setiap media. Dengan demikian, tidak ada bedanya antara dunia anak-anak dan dunia dewasa.  

Padahal anak-anak adalah peniru yang baik dan dengan begitu maka mereka dengan mudah terpengaruhi budaya asing. Anak-anak termasuk generasi muda yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan suatu negara untuk beberapa dekade kemudian. Itu dilihat dari sisi anak-anak, bukan berarti yang rusak hanya anak-anak, kalangan remaja dan dewasa juga tidak luput dari degradasi moral.

Menjadi industri yang cukup menjanjikan, berbagai media baru banyak bermunculan dan membuka lebar kran persaingan di antara mereka. Media komunikasi yang saat ini berkompetisi dianggap merendahkan standar hidup dan meninggalkan sampah budaya massa. Setidaknya, inilah pendapat seorang delegasi asal Chile dalam sebuah Kelompok Kerja PBB.  

Imperialisme Budaya sebagai Wacana Kewarganegaraan

Menurut Dwiki Darmawan dalam seminar “Budaya Jawa harus Dilestarikan Generasi Penerus”, budaya berpengaruh dalam image building suatu negara dan dipertimbangkan sebagai soft power negara tersebut. Namun, kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, minimnya pendidikan tentang kebudayaan, serta kebebasan informasi turut menggerus keberadaan budaya nasional.

Kebanggaan terhadap budaya asli dapat berdampak pada kebanggaan terhadap negara tersebut. Jika budaya asing dihargai setinggi langit sedangkan budaya lokal dianggap rendah, maka bangsa tersebut mulai mengalami masalah nasionalisme. Di sini diperlukan adanya Identitas Bangsa yang kuat dan tidak mudah terombang-ambing. 

Imperialisme Budaya sebagai Kritik Terhadap Kapitalisme Global

Kapitalisme telah menyebar di berbagai negara di dunia. Menurut Karl Marx, kapitalisme bukan sekedar mode produksi. Kapitalisme menyangkut keseluruhan ekonomi, politik, hubungan sosial, pengalaman, dan simbolik. Imperialisme Budaya cukup dekat dengan istilah dominasi budaya kapitalis. Selain terjadi kesamaan budaya (homogenization), kapitalisme juga memunculkan budaya konsumerisme. Timbul komodifikasi dari hampir setiap sisi kehidupan, bahkan tidak jarang kelewat batas. 

Menurut Leo (1980), kalangan non-Marxist berpandangan bahwa negara penganut kapitalisme seperti Amerika Serikat akan memperkuat pemrograman, produksi, dan distribusi model mereka. Oleh pengaruh media yang mampu menyebabkan homogenitas pada negara lain, maka permintaan akan “barang jualan” (model) negara kapitalis akan laku keras. 

Imperialisme budaya yang diiringi kapitalisme global akan membahayakan kondisi negara-negara berkembang. Budaya konsumerisme yang kelewat batas membuat masyarakat suatu negara akan kehilangan arah dan seperti dieksploitasi.

Imperialisme Budaya sebagai Kritik terhadap Modernitas

Modernitas mengarah pada jalur kebudayaan utama dalam perkembangan global. Budaya nasional perlahan mulai bergeser menuju kesamaan budaya global dengan gaya hidup serba modern. Modernitas memiliki beberapa determinan, antara lain kapitalisme, urbanisme, komunikasi massa, ideologi dominan, dan sistem sekuler. Sebuah negara yang dianggap masih belum maju memiliki prioritas untuk terus membangun dengan tujuan akhir menjadi modern. 

Terkadang seseorang terlalu banyak berpendapat terhadap kenikmatan modernitas dengan hampir melupakan ketidakpuasan atau resikonya. Modernitas patut dikaji lebih lanjut, mengingat modernitas ditopang oleh cerita budaya yang berakar dari kebudayaan Barat atau negara kapitalis. Jadi seluruh ide dari seluruh pembangunan akan dilembagakan sebagai tujuan budaya global. Lalu, akan di bawa ke mana keunikan budaya yang dimiliki setiap negara? 

Contoh Kongkrit Imperialisme Budaya di Indonesia

Indonesia adalah negara yang sangat luas wilayahnya, sangat banyak sukunya, dan sangat kaya budayanya. Namun, perlahan tapi pasti, dengan kehadiran media yang setiap hari ‘mencekoki’ masyarakat dengan nilai-nilai asing, maka perubahan dapat terjadi. Media massa cenderung tidak mentransfer budaya warisan leluhur kepada generasi muda, melainkan menggantikannya dengan budaya asing.

Jepang adalah negara yang maju di berbagai sektor, begitu pula dalam produk kreatifnya. Produk pop Jepang yang kuat dalam daya saing mulai menyerbu Asia sejak era 90-an, salah satunya Indonesia. Produk-produk seperti komik hingga film kartunnya telah sejak lama mengisi benak generasi muda Indonesia. 

Bagaimana tidak, hampir setiap film kartun yang ditayangkan beberapa stasiun TV diimpor dari Jepang. Seiring waktu bermunculan komunitas-komunitas yang berisikan fans-fans produk asing tersebut. Tidak harus menjadi fans berat pun, sebagian generasi muda pun ada yang lebih hafal beberapa produk ‘Made in Japan’ dibandingkan produk ‘100% Indonesia’. 

Tidak berhenti pada hanya budaya Jepang, akhir-akhir ini negara tetangganya, Korea Selatan, juga melakukan imperialisme budaya ke seluruh Asia. Wacana ini telah didengungkan pemerintah Korea sejak tahun 1998, mantan presiden Kim Dae Jung menjadikan ekspor budaya sebagai tujuan pemerintahannya. 

Gelombang budaya pop Korea atau sering disebut ‘Hallyu’ siap untuk menggulung budaya negara lain. Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Taiwan, dan bah¬kan China dan Jepang, tidak ketinggalan pula Indonesia, menjadi korban derasnya gelombang tersebut. Jepang, sang imperialis legendaris itu pun juga terpengaruh budaya pop Korea yang baru saja muncul ke permukaan. 

Film-film semisal Winter Sonata dan Endless Love merupakan contoh kecil kesuksesan imperialisme mereka di berbagai negara terutama di Asia, termasuk Indonesia. Belum lagi adanya film-film yang sekilas terlihat seperti film China, namun sebenarnya merupakan film Korea. Hal ini banyak disebabkan kemiripan aksara Korea dan China yang hampir mirip bagi mereka yang tidak mengenali. Banyak aktor dan aktris asal Negeri Ginseng yang dijadikan idola remaja Indonesia dan terkadang tergila-gila karenanya.  

Sebenarnya bukan hanya film, para pencinta budaya Korea juga menggandrungi musik, model rambut, makanan, bahkan hingga model alis. Di Indonesia terjadi homogenisasi budaya dan laku kerasnya komoditas budaya Korea. Pelan tapi pasti, bangsa Indonesia akan tergulung gelombang ‘Hallyu’ ini. Satu-satunya faktor yang mampu meminimalisir hal terburuk adalah identitas bangsa yamg kuat. 

Sebenarnya masih banyak negara-negara lain yang menjajah Indoensia melalui budaya. Budaya India, Amerika Serikat, Eropa adalah beberapa contoh budaya yang telah menginjeksi Indonesia. Istilah ‘rumput tetangga selalu tampak lebih hijau’ nampaknya menjadi anggapan bawah sadar kebanyakan individu. Parahnya, budaya-budaya tersebut sering dianggap lebih superior atau bahkan lebih gaul. 

Budaya-budaya dalam negeri yang sebenarnya memiliki nilai moral yang agung dipersepsikan kuno, ketinggalan zaman, atau inferior. Jika pemilik kebudayaan tidak mengharapkan keberadaan budayanya, lalu bagaimana nasih budaya tersebut? Bangsa Jepang yang bangga dengan budayanya dan mampu menjadi imperialis budaya pun takluk oleh budaya lain (Korea), apalagi Indonesia? Akhir yang masuk akal bagi budaya asli Indonesia selain tercampuradukkan dan kehilangan kemurnian, yakni musnah tergulung gelombang-gelombang budaya asing.



Scout Indonesia. Jangan lupa klik dan subscribe kanal Youtube LigaIndonesia.My.Id untuk memperoleh video-video sepakbola akar rumput. 

Video LigaIndonesia.My.Id terakhir:


References


Susanto, Astrid S. 1995. Globalisasi dan Komunikasi. Pustaka Sinar Harapan : Jakarta.

Nina Widyawati, 2005, “Globalisasi Media vs Lokalisasi”, Majalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: Komunika Vol 8 No 2, 2005.

Asa Briggs & Peter Burke, 2006, Sejarah Sosial Media, dari Gutenberg Sampai Internet, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

John Tomlinson, 2003, Cultural Imperialism: A Critical Introduction, Continuum International Publishing Group, London.

Andrik Purwasito, 2009, “Tantangan Globalisasi Relevansinya dengan Persatuan dan Kesatuan Bangsa serta Budaya Bangsa”, Paper pada IP Seminar: Dialog Menakar Ulang Pluralisme dengan Pancasila,Karanganyar.

Yasraf Amir Piliang, 2003, Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial, Tiga Serangkai, Solo.

Suray Agung Nugroho, tanpa tahun, “Hallyu ‘Gelombang Korea’ di Asia dan Indonesia: Trend Merebaknya Budaya Pop Korea”, Online, (Cited 2010 may. 8), available from : URL : http://elisa.ugm.ac.id/files/suray_daryl/lKsnBhys/hallyu.doc



Comments